PALANGKA RAYA, MK - Konflik antara orangutan dan masyarakat di sekitar hutan tempat habitat orangutan yang sering terjadi, membuat salah seorang tokoh pendiri dan penggagas berdirinya Provinsi Kalimantan Tengah, Sabran Achmad angkat bicara.
Ditemui di kediamannya, kepada kabarkalteng.com, Jumat (31/8/2018) Sabran mengungkapkan kegelisahannya. "Sebenarnya penanganan orangutan tersebut adalah tanggung jawab bersama antara berbagai instansi terkait, termasuk warga masyarakat yang hidup di sekitar hutan," ujarnya.
Ia mengatakan, orangutan termasuk hewan primata yang dilindungi oleh pemerintah. Karena itu, sebaiknya jangan disebut dengan orangutan agar jangan terjadi salah persepsi karena sebutan orang itu untuk sebutan manusia. "Dan arti dari orangutan bisa menjadi orang yang hidupnya di hutan," imbuhnya.
Padahal, lanjutnya, selama ini yang hidupnya banyak di hutan adalah suku dayak pedalaman yang merupakan suku asli pulau Kalimantan. Di kalangan suku dayak, orangutan sering disebut dengan Kahiu atau Kera Besar.
"Sejak dahulu orangutan dan masyarakat dayak tidak pernah terjadi konflik, karena habitat mereka tidak pernah terusik dan masih banyak sumber bahan makanan yang bisa mereka makan," jelas Sabran.
Namun sekarang, tambah Sabran, seiring dengan pesatnya pembangunan dan berkurangnya lahan dan hutan tempat mereka hidup, membuat hewan-hewan ini mulai mendekati pemukiman warga untuk sekedar bertahan hidup dan mencari makan.
Menurutnya, pelepasan kembali orangutan tersebut ke habitatnya harus terus diawasi dan dipantau pergerakannya oleh pihak yang terkait. "Dan yang bertanggungjawab agar hutan tempatnya hidup tidak dirusak dan jauh dari pemukiman warga, misalnya dilepaskan di wilayah hutan lindung," paparnya.
Apabila hutan tempat orangutan tersebut rusak dan musnah, maka terjadilah hal yang tidak diinginkan. "Jangankan hewan, manusia sekalipun akan musnah apabila lingkungan sekitarnya sudah rusak dan hancur," tandasnya.
Sabran yang pernah menjabat sebagai mantan Ketua DPR Provinsi Kalimantan Tengah era 1960-an ini meminta dan mengimbau semua pihak agar bersikap bijak dan dapat duduk bersama dalam menyikapi hal ini. Jangan sampai gara-gara penanganan yang semrawut akan berakibat merugikan dan mengorbankan salah satu pihak.
"Bagaimanapun kita ini adalah bangsa yang taat dan menjunjung tinggi supremasi hukum, segala sesuatunya harus diselesaikan dengan cara musyawarah dan mufakat dan dicarikan solusinya agar jangan sampai ada pihak yang merasa terpojok dan dikorbankan dalam hal ini adalah warga masyarakat yang hidupnya di sekitar hutan," tegasnya.
Sementara itu, di tempat terpisah ditemui kabarkalteng.com Sekretaris Forum Koordinasi Kelompok Tani Dayak Misik Kalimantan Tengah, DR Drs Dagut H Junas SH MT mengatakan, permasalahan habitat orangutan yang terganggu ini adalah akibat dari pembukaan lahan perkebunan yang serampangan dan tidak terencana sehingga berdampak dan berakibat dengan parahnya kerusakan lingkungan dan habitat hewan.
"Maka kami merasa turut prihatin dengan keadaan ini dan melalui program Dayak Misik kami memperjuangkan dua hal, yang pertama adalah agar setiap warga masyarakat adat dayak setiap kepala keluarga memiliki lahan kelola lima hektar dan kemudian memperjuangkan hutan adat setiap desa minimal sepuluh hektar dalam rangka untuk mencoba mempertahankan dan menjaga lingkungan agar tidak rusak dan dapat dijaga bersama sama demi kelangsungan hidup anak cucu kita di kemudian hari," pungkasnya.[tomi]