PANGERAN Antasari lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, pada 1797. Meninggal di Bayan Begok, pada 11 Oktober 1862 pada usia 53 tahun.
Siaran pers Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan (Pemprov Kalsel), mengabarkan Gubernur Kalsel H Sahbirin Noor, memimpin upacara peringatan wafat Pahlawan Nasional Pangeran Antasari ke 159 di Kompleks Pemakaman kawasan Masjid Jami Banjarmasin, pada Senin 11 Oktober 2021.
Selain gubernur, turut hadir Ketua DPRD Kalsel, Sekretaris Daerah Prov Kalsel, Kajati Kalsel, Wakil Kapolda Kalsel, Komandan Korem 101 Antasari dan sejumlah pejabat lain, lengkap mengenakan pakaina adat Banjar.
Peringatan wafatnya Pangeran Antasari diawali dengan penghormatan, pembacaan riwayat singkat, pembacaan pesan-pesan Pangeran Antasari oleh pimpinan upacara, dilanjutkann dengan peletakan karangan bunga dan doa.
Pada kesempatan itu, Gubernur mengingatkan perlunya mewarisi nilai-nilai juang para pahlawan, yang tentunya memberikan pembelajaran yang baik atau tuntunan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
“Itu yang harus kita warisi dalam kita menghadapi persoalan Negara, Pemerintahan, sosial kemasyarakatan, apa saja. Semangat itu yang harus diwarisi,” pesan gubernur yang biasa disapa Paman Birin itu.
Selain itu, pesan-pesan yang diamanatkan Pangeran Antasari ujarnya, senantiasa relevan dengan kehidupan saat ini. Semangat seperti Haram Manyarah, Waja Sampai Kaputing. Atau Jangan Bacaut Papadaan, perlu jadi pegangan.
Pemprov Kalsel juga memberikan tali asih kepada para keluarga atau ahli waris para pejuang di Kalsel yang diserahkan langsung Paman Birin.
Dilansir dari id.wikipedia.org dan beberapa sumber lainnya, Pangeran Antasari merupakan cucu Pangeran Amir. Semasa muda nama Pangeran Antasari adalah Gusti Inu Kartapati. Ibunda Pangeran Antasari adalah Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman. Ayah Pangeran Antasari adalah Pangeran Masohut (Mas'ud) bin Pangeran Amir.
Pangeran Amir adalah anak Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang gagal naik tahta pada tahun 1785. Ia diusir oleh walinya sendiri, Pangeran Nata, yang dengan dukungan Belanda memaklumkan dirinya sebagai Sultan Tahmidullah II.
Pangeran Antasari memiliki 3 putera dan 8 puteri. Pangeran Antasari mempunyai adik perempuan bernama Ratu Antasari yang lebih dikenal dengan nama Ratu Sultan Abdul Rahman, karena menikah dengan Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam. Ratu Antasari meninggal lebih dulu setelah melahirkan calon pewaris kesultanan Banjar yang diberi nama Rakhmatillah, yang juga meninggal semasa masih bayi.
Meski memiliki darah bangsawan, Pangeran Antasari tumbuh besar di kalangan rakyat biasa. Ia pun menjadi sosok yang dekat dengan rakyat. Ia begitu disegani dan sangat berpengaruh bagi masyarakat Banjar. Itulah mengapa, ia begitu ditakuti oleh Belanda.
Pangeran Antasari tidak hanya dianggap sebagai pemimpin Suku Banjar, ia juga merupakan pemimpin Suku Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Bakumpai dan beberapa suku lainya yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito, baik yang beragama Islam maupun Kaharingan.
Setelah Sultan Hidayatullah ditipu Belanda dengan terlebih dahulu menyandera Ratu Siti (Ibunda Pangeran Hidayatullah) dan kemudian diasingkan ke Cianjur, maka perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan pula oleh Pangeran Antasari.
Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan melawan penjajah Belanda di wilayah Banjar, maka pada 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, seluruh rakyat, para panglima Dayak, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar, dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi "Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka agama tertinggi.
Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk berhenti berjuang, ia harus menerima kedudukan yang dipercayakan oleh Pangeran Hidayatullah kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya, dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.
Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya, menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron pada 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan dikomandoi Pangeran Antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar.
Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Pangeran Antasari dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak pasukan Pangeran Antasari.
Dan akhirnya Pangeran Antasari memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh.
Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun ia tetap pada pendiriannya.
Dalam peperangan, Belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun sampai perang selesai, tidak seorangpun mau menerima tawaran ini.
Setelah berjuang bersama rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda pada 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam usia lebih kurang 53 tahun. Menjelang wafatnya, ia terkena sakit paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan. Perjuangannya dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Muhammad Seman.
Setelah terkubur selama lebih kurang 91 tahun di daerah hulu sungai Barito, atas persetujuan keluarga, pada 11 November 1958 dilakukan pengangkatan kerangka Pangeran Antasari, yang dimakamkan kembali di Taman Makam Perang Banjar atau Taman Makam Pahlawan Nasional Pangeran Antasari, Kelurahan Surgi Mufti, Banjarmasin.
Pangeran Antasari dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK No. 06/TK/1968 di Jakarta, tertanggal 27 Maret 1968.[adv/araska]