SAAT ini peningkatan ekonomi masyarakat para pelaku UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) sangat penting, tapi bagaimana agar pengemasan produk makanan tersebut sesuai standar kesahatan juga lebih penting.
Hal tersebut diungkapkan Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Banjarmasin Dr M Ramadhan SE ME, Ak CA, saat penulis (Jurnalis Metro Kalimantan Com) bertandang ke kantornya di jalan Tirta Dharma, Kota Banjarmasin, pada Rabu siang, 15 Juni 2022.
M Ramadhan adalah Kepala Dinkes Banjarmasin yang baru dilantik pada 22 April 2022, untuk menggantikan pejabat sebelumnya yakni Machli Riyadi.
Terkait pembinaan UMKM, Kementerian Koperasi dan UKM bekerja sama dengan Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Kalimantan Selatan menggelar pelatihan untuk UMKM. Pelatihan tersebut yakni Bimbingan Peningkatan Mutu Produk Usaha Mikro Bidang Kuliner, Pelatihan e-Commerce bagi Usaha Mikro, dan Pelatihan Usaha Mikro Berbasis Kompetensi Bidang Retail untuk Pramuniaga, di Banjarmasin pada bulan Mei 2022.
Pelatihan ini diharapkan dapat menjadi penguatan atau peningkatan kualitas UMKM berupa peningkatan pada produksi, pengemasan dan bahkan pemasaran.
Selanjutnya, pada Jumat, 3 Juni 2022, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno memberikan pelatihan pemberdayaan UMKM kepada para peserta di Kota Banjarmasin. Pelatihan ini dihadiri oleh ratusan orang terdiri pelaku UMKM emak-emak dan milenial.
Di mana peserta yang datang ke pelatihan ini didominasi oleh para pelaku usaha kuliner. Walaupun pelatihan ini tidak berkaitan dengan usaha kuliner, tapi untuk menciptakan produk usaha-usaha ekonomi kreatif lainnya.
Jela terlihat 2 kementerian sangat mendorong peningkatan ekonomi para pelaku usaha UMKM, agar berkembang lebih baik lagi. Tapi apabila berkaitan dengan produk makanan atau kuliner, sangat penting melibatkan instansi kesehatan, sehingga tidak hanya ekonomi masyarakat yang meningkat, namun diharapkan kesehatan masyarakat yang menjadi konsumen produk kuliner tersebut juga meningkat.
Menurut M Ramadhan, ada dilematis antara ekonomi dan kesehatan, karena kepraktisan dan efisiensi serta biaya yang lebih murah, membuat para pelaku UMKM kuliner memilih wadah atau kemasan produk dari bahan plastik maupun styrofoam.
“Kita tidak bisa melarang masyarakat untuk membeli kuliner yang dibungkus dengan bahan plastik maupun styrofoam, karena ini akan menimbulkan kepanikan, tanpa memberikan solusi bagaimana baiknya, namun kita juga menghimbau kepada masyarakat agar lebih berhati-hati saat membeli kuliner tersebut, dengan melihat perlakuan pengemasannya,” ucapnya.
Oleh karena itu, Ramadhan menambahkan, pentingnya pembinaan para pelaku UMKM kuliner bagaimana cara mengemas produknya agar sesuai dengan standar kesehatan.
Penulis menanyakan suatu program yang telah dilaksanakan beberap tahun yang lalu, yaitu program pembinaan kepada pelaku usaha makanan dan minuman yang biasa mangkal di sekolah-sekolah, dengan memberikan "stiker jajanan" sebagai tanda bahwa pelaku usaha jajanan sekolah sudah mendapat pelatihan dan pembinaan kesehatan dari Dinkes, masih berlanjut?
Serta apakah program pembinaan kesehatan dan "stiker jajanan" tersebut dapat diaplikasikan dengan para pelaku UMKM kuliner? Sehingga melalui "stiker jajanan", konsumen dapat dengan jelas mengetahui bahwa para pelaku UMKM memang sudah menjadi binaan Dinkes.
Stiker jajanan adalah program pelatihan dan pembinaan yang mulai dilaksanakan oleh Dinkes Banjarmasin pada tahun 2012, saat drg Hj Diah Ratnani Praswasti menjabat sebagai Kepala Dinkes Banjarmasin.
Atas pertanyaan ini, Kepala Seksi Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Kerja dan Olahraga, Umi Kulsum yang mendampingi Kepala Dinkes Banjarmasin dalam perbincangan, menjawab bahwa program pembinaan kesehatan tersebut masih berlanjut, yang pelaksanaan pembinaannya melalui puskesmas-puskesmas, hanya saja untuk stiker ada kendala, terkait anggaran dana yang beberapa waktu ini terpangkas untuk penanganan Covid-19. Ia juga mengakui bahwa memang belum ada program stikerisasi pembinaan kesehatan kepada para pelaku UMKM.
Umi Kulsum secara garis besar juga menjelaskan, mengenai bahaya penggunaan bahan plastik maupun styrofoam. Sedang secara mendetail penulis rangkum dari berbagai sumber.
Pada akhir perbincangan, Ramadhan berterimakasih atas masukan stikerisasi untuk pembinaan kesehatan UMKM kuliner, ia berjanji akan memprogramkannya, sehingga kesehatan konsumen dapat berjalan seirama dengan peningkatan ekonomi para pelaku UMKM kuliner.
Dilansir dari laman website lipi.go.id dan halodoc.com, biasanya ketika membeli makanan untuk dibawa pulang, beberapa rumah makan atau restoran siap saji sering menggunakan plastik dan gabus (styrofoam) untuk mewadahi makanan. Bahan ini memiliki banyak keunggulan sebagai pembungkus makanan, yaitu murah, tidak gampang bocor, ringan, dan praktis penggunaannya. Itulah mengapa banyak penjual makanan yang suka menggunakan wadah makanan berbahan styrofoam. Namun tersimpan zat-zat yang amat berbahaya bagi kesehatan tubuh.
Bila unsur-unsur zat itu masuk ke tubuh, melalui kemasan makanan dari bahan plastik maupun styrofoam. Tentu saja sistem pencernaan kita sulit mencernanya.
Tanpa memikirkan atau sekedar mau tahu mengenai risikonya terhadap kesehatan, kemasan makanan dari bahan plastik maupun styrofoam sudah pasti menjadi pilihan utama karena praktis, ringan, dan bisa digunakan berulang kali. Tetapi pada kedua jenis bahan ini justru ditemukan suatu larutan kimia yang sulit dilumat oleh sistem percernaan.
Bila ditinjau dari susunan kimianya, styrofoam termasuk ke dalam jenis plastik atau polimer. Bahan ini memiliki kandungan monomer, antara lain stirena, benzene dan formalin yang diketahui dapat memberi sejumlah dampak negatif bagi kesehatan tubuh.
Kandungan stirena, misalnya, dapat mengurangi produksi sel darah merah yang sangat dibutuhkan tubuh, untuk mengangkut sari pati makanan dan oksigen ke seluruh tubuh. Akibatnya, fungsi saraf seseorang bisa terganggu, sehingga ia akan mengalami kelelahan, gelisah, dan susah tidur.
Stirena juga bisa memengaruhi kondisi janin melalui plasenta ibu dan berpotensi mencemari ASI. Stirena bisa mengontaminasi makanan melalui berbagai cara:
Pertama, lemak pada makanan. Makanan yang mengandung lemak yang tinggi berpotensi lebih besar terkontaminasi stirena ketimbang makanan yang rendah lemak.
Kedua, lamanya penyimpanan makanan. Semakin lama makanan disimpan di dalam Styrofoam, semakin banyak kandungan stirena yang berpindah ke makanan tersebut.
Ketiga, panas makanan. Semakin tinggi suhu makanan yang ada dalam styrofoam, semakin mudah zat stirena berpindah ke makanan. Hal ini bisa menimbulkan kerusakan pada sum-sum tulang belakang, masalah pada kelenjar tiroid, sampai anemia.
Selain itu, kandungan benzene juga sangat berbahaya. Benzena yang masuk ke dalam tubuh akan tersimpan dalam jaringan darah. Kandungan ini tidak dapat larut dalam air, sehingga tidak bisa dikeluarkan melalui urin (air kencing) maupun feses (Kotoran), dan akan menumpuk pada lemak di dalam tubuh.
Hal inilah yang menyebabkan timbulnya penyakit kanker. Kandungan benzene akan berpindah dengan cepat begitu terkena uap panas dari makanan yang dimasukkan ke dalam styrofoam.
Dr. Eng. Agus Haryono, peneliti bidang teknologi proses dan katalisis Puslit Kimia LIPI menjelaskan, banyak kandungan berbahaya dari kantong plastik (kresek) bisa mengontaminasi makanan. Bila terkena suhu tinggi, pigmen warna kantong plastik akan bermigrasi ke makanan.
Agus yang khusus meneliti plastik dan styrofoam ini menjelaskan, bila makanan yang baru digoreng ditempatkan di kantong kresek, suhu minyak yang tinggi akan menghasilkan kolesterol atau lemak jenuh yang tinggi pula. Belum lagi, kantong kresek ini mengandung DOP serta logam berat Zn (seng) yang biasanya ditambahkan pabrik plastik sebagai bahan stabilizer untuk plastik.
Styrofoam yang masih tergolong keluarga plastik, ternyata juga memiliki bahaya yang sama. Sebagaimana plastik, styrofoam bersifat reaktif terhadap suhu tinggi. Tidak hanya itu, styren, bahan dasar styrofoam, bersifat larut lemak dan alkohol. Ini berarti, kata Prof.Dr.Hj. Aisjah Girindra, ahli biokimia pada Lab Biokimia FMIPA IPB, wadah dari jenis ini tidak cocok untuk tempat susu yang mengandung lemak tinggi. Begitu pun dengan kopi yang dicampur krim.
Di dalam styrofoam dan plastik memang ada ancaman bagi kesehatan, akibat kemungkinan imigrasi komponen-komponen dari plastik dan styrofoam ke barang yang kita konsumsi. Tetapi kemungkinan ini tergantung dari jenis pangannya, lama kontaknya, luas cakupan bahannya (plastik/styrofoam) dan sebagainya.
Penelitian yang dalam dan menyeluruh, mengenai ancaman di balik kemasan dari bahan styrofoam dan plastik memang belum dilakukan. Meski demikian, ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang memuat tentang kemasan. sebenarnya sudah ada di Badan Standardisasi Nasional (BSN).
Meskipun demikian, WHO menyatakan bahwa stirena tidak akan menimbulkan bahaya pada kesehatan bila kadarnya tidak melebihi 5000 ppm yang masuk ke dalam tubuh. Sedangkan wadah berbahan styrofoam yang sering dipakai, hanya mengeluarkan sterina sebanyak kira-kira 0,55 ppm. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga menyatakan styrofoam masih aman digunakan untuk makanan.
Namun, kalau digunakan sesekali memang tidak masalah, tapi apabila sering digunakan secara terus menerus, dan semakin menunpuk dalam tubuh, pada akhirnya akan tetap menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan.
Bagaimana penggunaan styrofoam yang baik, yaitu usahakan agar makanan tidak langsung bersentuhan dengan styrofoam, bisa memberi plastik atau kertas nasi sebagai alas dari styrofoam.
Hindari memanaskan makanan dengan menggunakan wadah styrofoam atau menuang makanan yang masih panas ke dalam wadah berbahan tersebut.
Untuk makanan yang berlemak, berminyak, dan menggunakan alkohol, sebaiknya jangan menggunakan styrofoam sebagai wadah.
Tidak hanya membahayakan kesehatan, styrofoam juga berperan dalam menyebabkan global warming, karena styrofoam baru bisa terurai dalam jangka waktu 500 tahun. Jadi, usahakan untuk menghindari penggunaan styrofoam ketika membeli makanan.[]
Penulis : Abdurrahman Al Hakim (ARAska Banjar)